Ads (728x90)

”Rumangsa Melu Handarbeni, Wajib Melu Hangrungkebi, Mulat Sarira Hangrasa Wani” ”Dikir, Fikir, dan Amal Sholeh”

Dalam sejarah, pada perhelatan Musyawarah Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang ketiga di Gedung Murnajati, Lawang, Kabupaten Malang pada 14 Juli 1972 menghasilkan keputusan berupa Deklarasi Murnajati. Deklarasi tersebut setidaknya menegaskan bahwa PMII menyatakan organisasi yang independen. Tidak terikat dalam sikap maupun tindakannya kepada siapapun. Tidak lain dan tidak bukan hal tersebut sebagai sikap saat Nahdlatul Ulama (NU) sebagai rahim kelahiran PMII masih menjadi salah satu partai dalam kontestasi perpolitikan di Indonesia.
Mafhum, ketika kemudian PMII harus mengambil sikap degan tegas akan posisinya pada saat itu. Terlebih kalau menelisik lebih mendalam, posisi NU sebagai partai pada saat itu terpecah menjadi tiga kubu, yakni masing-masing adalah: Idham Chalid, Syaikhu, dan Subhan ZE. Tak bisa dipungkiri, masa tersebut menjadi titik awal perkembangan PMII. Sebagai gerakan mahasiswa, tentu saja dengan pelbagai pertimbangan yang jelas—bahwasannya mahasiswa itu merupakan insan yang menanggung beban berupa tanggung jawab intelektual, sosial maupun moral harus menghindarkan diri pada politik praktis.
Pernah suatu kali dalam sebuah wawancara di _Radar Malang_ pada tanggal 19 Mei 2015, Fauzan Alfas, penulis buku _PMII Dalam Simpul-simpul Sejarah Perjuangan_ menyampaikan bahwasannya deklarasi tersebut dalam keberjalannya juga menjadi titik balik kebangkitan PMII. Beberapa hal yang disampaikan seperti diantaranya adalah: perkembangan secara kuantitas baik secara anggota maupun struktur cabang yang ada di seluruh Indonesia. Kendati demikian, deklarasi itu juga perlu dipahami bahwa PMII hanyalah bercerai secara struktural dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Dengan kata lain, pada visi dalam aspek keindonesiaan maupun keislaman tetaplah sama. Visi keindonesiaan terletak pada komitmen terhadap cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila. Sementara itu, visi keislaman berada pada kepentingan penyiaran Islam yang berlandaskan dengan ajaran maupun nilai _Ahlussunnah Wal Jamaah_. Mahbub Djunaidi, Ketua PMII 1960-1967 pernah mengungkapkan akan istilah independensi—bahwasannya, “’independensi’ itu merupakan bukti dinamisnya anak yang mestinya diterima sebagai bukti obyektif bahwa kendati PMII terpisah secara struktur, tetapi dia masih terikat dengan ajaran-ajaran _ahlussunah wal jama’ah_.”
*Khittah NU*
Humaidy Abdussami’ menuliskan esai berjudul _Melacak Khittah PMII_ ( _Harian Pelita_, 13 Mei 1985). Ia menyampaikan terkait mengenai independensinya PMII terhadap NU—bahwa hal tersebut merupakan sikap alternatif yang kemudian diambil oleh PMII, tidak dependen kepada partai politik, atau tidak harus menjadi partai politik. Manifestasi dari Deklarasi Murnajati memang kemudian berlanjut pada Kongres V PMII di Ciloto pada tahun 1973 yang menghasilkan Manifest Independensi PMII. Bukan berarti alergi terhadap politik di tengah dinamika PMII dalam mengembangkan sayapnya di perguruan tinggi. Hal yang urgen disampaikan oleh Humaidy, bahwa independensi tekanannya pada perubahan orientasi—menjadi cendekiawan yang selalu bersikap ilmiah, Sesuai dengan trilogi PMII: Zikir, Fikir, dan Amal Shalih.
Hal tersebut juga disinggung oleh Mahbub Djunaidi tatkala menuliskan kata pengantar dalam buku berjudul _Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi_ ( _Aula_, 1991). Esai yang ditulis oleh Mahbub berjudulkan _PMII: Belajar dan Berpolitik_—yang mana, ia memeringatkan bahwasannya sudah menjadi keharusan untuk menyeimbangkan antara belajar dan berpolitik. Berpolitik yang dimaksudkan oleh Mahbub tidak lain adalah bermasyarakat, mengamati apa yang terjadi di sekitar dan punya keberanian untuk bersuara membela yang benar.
Sementara itu, momentum Muktamar NU ke-27 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur pada tahun 1984 dibahaslah ihwal NU kembali ke khittah tahun 1926. Hasilnya pun tidak sembarangan. Konsolidasi yang berlandaskan dengan gagasan salah satunya dari KH Achmad Siddiq tersebut menandai bahwa politik yang diperankan NU secara struktural bukanlah politik praktis. Namun, melainkan politik kebangsaan, politik keumatan, politik kerakyatan dan politik yang penuh dengan etika.
Walaupun demikian, dalam dinamika yang berjalanan maupun berkembang, secara organisasi, PMII belum merapat kembali secara struktural ke NU. Padahal dalam perkembangan yang ada—banyak tokoh maupun kalangan dari NU sangat begitu berharap akan kembalinya PMII ke NU. Mafhum, seringkali adagium yang ditemukan adalah anak kandung yang telah lama pergi, kini sudah saatnya kembali ke rahim yang melahirkannya. Karena secara kenyataan, pasca kembali ke khittah 1926, NU bukan lagi merupakan partai, namun melainkan organisasi jam’iyah.
*Visi Keindonesiaan*
Dalam muktamar terakhir NU yang ke-33 pada tahun 2015 yang terhelat di Jombang, secara struktur NU memutuskan bahwasannnya PMII menjadi bagian di dalamnya. Kedati demikian, dalam tubuh internal yang ada di PMII baik secara struktural maupun dinamika yang terjadi di kalangan anggota maupun kader masih diperdebatkan. Mungkin sampai sekarang. Sebab, dalam forum-forum yang ada di PMII sampai sejauh ini belum ada pembahasan yang lebih mendalam terkait hal tersebut. Entah, kapan akan dibahas.
Yang pasti, baik PMII maupun NU secara keberadaannya punya peran yang vital dan sentral dalam kehidupan berbangsa, bernegara maupun beragama. Tidak lain dan tidak bukan adalah dua hal mendasar yang menjadi bagian perjuangan. Pertama, komitmen dalam menjaga persatuan dan kesatuan negara Indonesia yang bersesuaikan falsafah Pancasila. Kedua, syiar keagamaan Islam dengan berlandaskan _Ahlussunnah Waljamaah_ (Aswaja) seperti diantaranya berpegang pada prinsip: _tawasuth_ (moderat), _tawazun_ (seimbang), _ta’adul_ (adil) serta _tasamuh_ (toleran).
Tokh, kalau menilik dari apa yang pernah dituliskan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat PMII memasuki kepala tiga sangat begitu relevan hingga saat ini terkait peran PMII terhadap NU. Gus Dur menuliskan esai yang berjudul _PMII dan Prioritas Program NU_ ( _PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi_, 1991). Gus Dur menyampaikan bahwasannya PMII punya peran dalam transformasi yang dihadapi oleh NU secara keseluruhan. Masing-masing adalah: sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Tatkala pada 17 April 2019, di mana PMII genap berusia 59 tahun harus terus ekstra keras dalam berjuang yang salah satunya adalah transformasi keempat sebagaimana pernah diutarakan oleh Gus Dur, yakni ilmu pengetahuan dan teknologi. Tak bisa dipungkiri, zaman terus berubah dan bergerak dengan pelbagai inovasi maupun terobosan yang lahir. Sebagai organisasi yang menaungi mahasiswa-mahasiswa di pelbagai perguruan tinggi, PMII tentu saja diharapkan mampu melahirkan kader-kader yang dapat bertransformasi dan kemudian memberikan andil di banyak sektor/ bidang dalam kehidupan di negara yang majemuk ini.[]
Oleh: Joko Priyono
Kader PMII Kota Solo.

Posting Komentar