Ads (728x90)

”Rumangsa Melu Handarbeni, Wajib Melu Hangrungkebi, Mulat Sarira Hangrasa Wani” ”Dikir, Fikir, dan Amal Sholeh”

Siapa yang tidak mengenal dengan Pendidikan, setiap manusia berakal pernah mendengarkan kata Pendidikan, pernah merasakan Pendidikan, jika ada dari salah satu manusia tidak mengetahui dan merasakan hal tersebut perlu dipertanyakan status manusia dan jiwanya, pendidikan tidak hanya di lembaga formal, bisa didapat disetiap tempat dan waktu yang tidak terikat oleh legalitas sistem Pnedidikan.

Sudah layaknya kita mengkaji lebih dalam terkait Manusia yang hidup di kampung halaman yang kemungkinan besar bersebrangan dengan manusia lain, setiap manusia mempunyai visi dan misi yang berbeda kalau pun ada yang sama kebetulan saja, karena ia terlibat dalam sistem atau formasi sosial yang didominasi oleh budaya Adat dan kepentingan Politik.

Manusia dilahirkan dalam keadaan sama tidak ada perbedaan diantaranya, kalau pun ada hanya sebatas Gender atau kodrat dari Tuhan yaitu Perempuan dan Laki-laki berdasarkan jenis kelamin. Dalam perkembangannya dua jenis yang diposisikan sama oleh Tuhan dalam perspektif Agama, Iman dan Taqwanya, Namun berubah total menjadi perbedaan yang signifikan dari segala sumber multi tafsir di masanya yang disebabkan oleh faktor ekonomi.

Paradigma Patriarki melihat posisi sentral kedudukan Manusia di masyarakat berdasarkan peran dan tanggung jawab sebagai makhluk sosial, bagaimana laki-laki menjadi tulang punggung perempuan, dan perempuan menjadi panggung rumahan yang bersandar terhadap suami, berakibat perempuan akan selalu metergantungkan hidup sepenuhnya dan bersandar lebih kepada suami, belum lagi persoalan stigmanisasi prilaku perempuan dimasyarakat penuh dengan hantu-hantu gentayangan, seperti keluar malam dibilang perempuan murahan, memakai rok pendek dibilang memamerkan kemaluan, merokok dibilang perempuan nakalan yang tidak bisa melahirkan sosok keturunan.

Strutur Sosial telah melegalkan Budaya Ptriarki bahwa ketidak-adilan selalu dirasakan oleh perempuan disetiap harinya tidak bisa dihapus dan dilawan dengan stigma-stigma baru sebagai upaya me-rekonstruksi perubahan lebih baik, bahwa perempuan mempunyai kesamaan moral. Memahami prilaku manusia seharunya secara kompleks tidak setengah-setengah, setiap masa ada sejarahnya, setiap sejarah ada masanya, manusia yang diciptakan oleh Tuhan dengan keadaan sama, tidak membedakan satu sama lainnya. Kita perlu menelaah bersama bahwa hantu Patriarki masih bergentayangan disetiap tahunnya, maka dibutuhkan peran juga dari laki-laki dalam mendorong dan menenggelamkan budaya patriarki dengan ideologi Feminisme.

Dalam hal ini, kita bisa merefleksikan perjalanan suwarni pringgodigdo pada tahun 1937 pernah menulis terkait dengan perlindungan dalam perkawinan, ia sangat menyesal sekali persoalan poligami, terlebih soal kemerdekaan kaum perempuan, dengan usaha yang tidak sia-sia Suwarni mendaptkan perhatian lebih dikalangan masyarakat sehingga ditahun 1930 ia membentuk kaum nasionalis perempuan, sebagai upaya memenangkan kemerdekaan dan mendapatkan penghargaan yang sama antara laki-laki dan perempuan.

Singkat cerita, suwarni pernah menentang keras dalam Kongres Perempuan Indonesia II yang diadakan pada 20-24 Juli 1935 di Jakarta. Pada kesempatan itu, Ratna Sari mewakili seksi wanita Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dari Sumatera Barat menyampaikan pidato yang berapi-api tentang poligami sebagai kewajiban perempuan. Hal ini serta merta mematik perasaan tidak nyaman sebagian perempuan, namun sedikit yang berani mendebat.

Seperti yang dikisahkan Gadis Rasid dalam Maria Ulfah Subadio: Pembela Kaumnya (1982: 53), Suwarni Pringgodigdo tanpa ragu langsung menyerbu panggung. Dia sangat marah terhadap ucapan Ratna Sari. Amarah Suwarni lantas berlanjut menyerang laki-laki yang disebutnya mirip seperti ayam jago yang suka mengumpulkan perempuan.

Sindiran Suwarni terhadap laki-laki sangat pedas sekali, pada masa itu memang kebanyakan laki-laki seenaknya sendiri, mengumpulkan banyak perempuan sebagai barang dagangan, apalagi dari seorang keturunan bangsawan yang sangat mudah bergonta-ganti pasangan karena punya harta melimpah.

Lebih menarik lagi perkataan Suwarni, “Jika perempuan diajar berpikir bahwa perkawinan itu tujuan hidupnya dan pekerjaan rumah tangga itu hanya menjadi tanggung jawabnya, maka mereka itu tidak dididik bekerja secara cerdas dengan otak dan tubuhnya. Mendidik bekerja dengan cerdas akan memberikan [mereka] senjata untuk meraih kebebasan ekonomi”.

Pola berpikir perempuan sangat memengaruhi dalam prilakunya, maka tidak heran sekali, bahwa perempuan-perempuan yang ada di kampung halaman desa, akan secepatnya dinikahkan oleh orang tua atau dengan kemauannya sendiri, tidak hanya itu, sekolah belum lulus, ia sudah bertransaksi dengan laki-laki yang bersedia menikahinya, seperti dikasih sepeda motor atau perhiasan emas, ternyata sudah bisa ditebak bahwa Budaya Patriarki didominasi oleh faktor ekonomi.

Dari sebuah kaca mata sejarah memang benar, bahwa perempuan selalu dinomer duakan dalam kehidupann sosial masyarakat, terutama sebagai objek dari pecandu para lelaki, dari prilaku poligami yang didominasi oleh kaum bangsawan sehingga membentuk budaya sekaligus dilegitimasi oleh Agama, bahwa kaum laki-laki hendak menikah lebih dari satu jika mampu berlaku adil masih dikampanyekan hari ini sebagai legitimasi tunggal kaum laki-laki untuk mempertahankan status quo.

Hemat penulis, sudah waktunya bagi kaum laki-laki untuk terlibat di dalam penghapusan budaya patriarki biar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan, persoalan patriarki juga merugikan laki-laki dalam aspek sosial, seperti kekerasan dalam rumah tangga yang selalu dilakukan oleh laki-laki, berakibat terkurung dalam jeruji besi, oleh sebab itu Ideologi Feminis sebagai paradigma teoritis dalam menghapus status sosial perempuan menuju kemerdekaan secara alamiah tanpa ada tendensi apa pun yang saling merugikan.

Sebagai laki-laki juga harus belajar waspada terkait dengan perilaku dan perkataan dari hal kecil, sehingga tidak merugikan kaum perempuan, syukur bisa menghargai dan memuliakan perempuan dalam keadaan dan situasi apa pun, belajar melupakan pembicaraan kotor, seperti payudara perempuan besar, montok, semok, cantik, pokoknya yang berbahu pelecehan seksualitas dan menjadikan perempuan sebagai komoditas komersialisasi nafsu duniawi.

Oleh: Muhammad Andrea

Posting Komentar