Beberapa tahun ini di Indonesia sedang gencar- gencarnya dilakukan sosialisasi bahaya merokok, mulai dari kebijakan pemerintah dalam mengatur larangan iklan rokok di Televisi, Melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan, serta yang terbaru mengatur Undang-undang bungkus/kemasan rokok yang wajib mencantumkan gambar seram dampak merokok di kemasannya.
Mengapa ada Iklan “rokok membunuhmu”, Namun rokok masih di produksi & pabrik rokok tidak di tutup? Adakah agenda tersembunyi dari dinamika ini? Taukah Anda bahwa dibalik logika kesehatan itu ada keserakahan kaum kapitalis asing yang hendak menguasai bisnis global di bidang kretek?
Pertarungan politik bisnis internasional menyebabkan Indonesia kehilangan kekayaan negeri sendiri. Sebab dulu, Indonesia yang pernah berjaya dengan penjualan minyak mandar kini telah diluluh lantakkan dengan bombardir minyak sayur.
Dulu Indonesia pernah jaya dengan minyak mandar atau lomo mandar, tapi dihancurkan dengan isu bahwa minyak mandar tidak baik untuk kesehatan oleh Amerika. Hal itu juga diberlakukan pada rokok kretek, oleh WHO dan pemerintahan Indonesia melalui isu bahaya nikotin tinggi.
Matinya kopra, gula, garam, jamu dan kretek juga menandai matinya komoditas agroindustri nasional. Matinya sebuah kebudayaan lokal.
Tahukah Anda tentang sentra produksi agroindustri minyak kelapa di Mandar, Sulawesi Selatan?
Tahukah Anda tentang Pulau Selayar yang dahulu kala di beri gelar pulau sejuta emas hijau karena produk agroindustrinya?
Saya pernah membaca tulisan dari seorang pengamat sosio-politik, yang dari tulisannya terlihat seolah mengadvokasi para pengusaha tembakau dan rokok kretek Indonesia. Mungkin bagi para penggemar teori konspirasi yang biasanya ada di lingkungan agama dan menyangkut freemason, illuminati, dkk, bisa ikut mencermati tulisan yang satu ini.
Kampanye anti-rokok internasional sebagai suatu acuan, atau bahkan suatu model yang dijiplak habis oleh aktivis anti-rokok Indonesia telah menjadi objek studi yang intensif dari sejumlah ahli. Salah satu sisi yang disoroti adalah hubungan historis yang terlihat antara kampanye anti-rokok internasional yang disponsori oleh Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya dengan kampanye serupa yang dilakukan Nazi Jerman pada era 1940-1945.
Histeria anti-rokok yang diciptakan kelompok Nazi berlangsung sukses atas dukungan Hitler, karena Hitler sendiri merupakan vegetarian dan tidak merokok.
Walaupun dulunya dia juga seorang perokok berat di masa mudanya, Hitler memutuskan bahwa rokok berbahaya bagi kemurnian ras Aria dan giat menyokong kampanye anti-rokok. Merokok diberi label yang menyeramkan sebagai fenomena “epidemik”, “wabah”, “mabuk kering” (sebagai lawan “mabuk basah” akibat alkohol), “masturbasi paru-paru”, “penyakit peradaban”, dan “sisa-sisa gaya hidup liberal”.
Persis seperti apa yang sekarang disampaikan dalam gerakan anti merokok yang dilakukan WHO, baik melalui FCTC maupun forum-forum lainnya. Dulu Nazi juga mengumpulkan dukungan dari lembaga ilmiah di bidang kesehatan demi melancarkan pelarangan larangan rokok melalui cara-cara propaganda, humas dan peraturan resmi. Kementerian Sains dan Pendidikan Jerman memerintahkan murid-murid di sekolah untuk mendiskusikan bahaya rokok dan Kementerian Kesehatan mempublikasikan pamflet peringatan dilarang merokok kepada generasi muda.
Kegiatan-kegiatan yang disponsori Kementerian Kesehatan Jerman, seperti ceramah tentang kesehatan ibu, vaksinasi dan sebagainya, dinyatakan “bebas rokok”. Demikian pula serikat pekerja Nazi (Deutschen Handwerks) mengkampanyekan agar anggotanya untuk tidak merokok di tempat kerja. Sekarang kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh NAZI di Indonesia.
Di dalam negeri ada dua sisi bertolak belakang. Di satu sisi kebijakan anti tembakau sukses besar. Peraturan Pemerintah tentang tembakau sudah direvisi berkali-kali, puluhan perda anti tembakau, UU Kesehatan dan RPP Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif sedang digodog di senayan, kawasan dilarang merokok, iklan rokok sekarang menjadi tak selonggar dulu.
Sementara di sisi lain impor tembakau meningkat tajam. Tahun 2003 sebesar 29.579 ton naik menjadi 35.171 ton di 2004. Hingga 2008 mencapai 77.302 ton. Dalam waktu lima tahun ada kenaikan 250 persen. Impor cerutu juga naik. Rata-rata kenaikan 197,5 persen per tahun. Tahun 2004 impor cerutu masih US$ 0,09 juta, di tahun 2008 naik menjadi 0,979 juta. Apalagi juga ada fakta raksasa rokok dunia masuk ke Indonesia.
Philips Morris pemilik perusahaan rokok asal Amerika mencaplok Sampoerna pada tahun 2005 dan BAT mengakuisi Bentoel pada tahun 2009. Perusahaan farmasi yang menjual terapi rokok juga kian populer di Indonesia. Kini Industri kretek yang masih berada di tangan pengusaha asli Indonesia adalah Djarum, Gudang Garam, Djeruk dari daerah Kudus, dan Wismilak.
Bayangkan sikap para pengusaha kretek seperti PT Djarum atau Gudang Garam di zaman serba teknologi seperti sekarang mereka hingga kini masih menggunakan pekerja manual untuk melinting rokok yang mereka produksi, demi melindungi Indonesia dari kaum kapitalis. Pemilihan bahan tembakau juga menggunakan tembakau lokal yang ditanam para petani pribumi bukan tembakau import.
Selamat datang penguasa rokok dunia, selamat tinggal industri rokok kretek yang megap-megap menjelang ajal kematian. Industri kretek dalam negeri yang memayungi hampir 30 juta orang yang bekerja di sektor ini.
Lambat tapi pasti rokok kretek menuju liang kematian yang sebelumnya telah ditempati kopra, gula, garam, jamu, dan puluhan lainnya.
INDONESIA DIPAKSA MEMBELI PRODUK ASING
Kini konspirasi sedang dilancarkan Amerika Serikat terhadap produk Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya yang diproyeksikan mampu menguasai pasar dunia. Mulai dari minyak kelapa yang terpuruk di tahun 1960-an. Pada saat itu terjadi kampanye besar-besaran mengenai bahaya minyak kelapa, khusunya yang berasal dari Indonesia dan Malaysia. Melalui institusi yang mereka sebut sebagai ‘rezim kesehatan’, isu-isu penyakit akibat minyak kelapa digulirkan. Kolestrol dan jantung menjadi penyakit yang paling sering disebut.
Hal itu ternyata berlatar belakang industri minyak kedelai milik Amerika Serikat yang ingin menguasai pasar. Demikian juga dengan garam Indonesia yang bahkan sampai saat ini kita masih mengimport karena dulunya dikatakan tidak beryodium karena diproses secara tradisional.
Pola-pola serupa juga diterapkan pada industri gula, jamu, bahkan nasi. Kita tentu tahu aksi sehari tanpa nasi sebagai kampanye agar masyarakat beralih ke gandum dan kentang.
Dengan begitu, kita ‘dipaksa’ mengimpor dua komoditas tersebut karena lahan Indonesia tidak cukup baik untuk menanam gandum dan kentang. Strategi serupa, ternyata kembali dilakukan untuk menghancurkan industri rokok kretek di Indonesia. Pendapat ini bukan untuk membela rokok, akan tentapi tentang bagaimana kita ditipu-tipu.
Kampanye anti rokok kini sudah semakin meluas, dengan cara-cara seperti yang saya sebutkan diawal yang bahkan dalam kasus ini pemerintah malah menjadi bagian penting. Isu kesehatan selama ini menjadi prioritas pemerintah dengan mengabaikan kesejahteraan para pekerja dan petani tembakau yang jumlahnya tidak sedikit. Pemerintah juga secara tidak langsung membantu mencegah perkembanganRokok Kretek Indonesia untuk menguasai pasar dunia.
Konspirasi tersebut ditunggangi oleh segitiga pihak yang berkepentingan, yakni lembaga internasional, perusahaan multinasional, dan negara maju. Dalam isu bahaya kretek ini, yang diuntungkan adalah perusahaan rokok dan farmasi milik pihak asing. Sepak terjang perusahaan rokok asing untuk menguasai seluruh pasar dunia salah satunya dengan mengakumulasi keuntungan negara-negara di seluruh dunia, serta menghancurkan industri rokok nasional negara berkembang, termasuk Indonesia.
Saat ini sudah dimulai kampanye besar-besaran melawan rokok yang notabene dilakukan untuk menghancurkan industri rokok kretek di Indonesia yang sudah sejak zaman kolonial menjadi satu-satunya industri yang dari hulu ke hilir, seluruh bahan baku pembuatan rokok kretek berasal dari produksi rakyat pribumi. Kretek merupakan bentuk kemandirian dan kebebasan rakyat indonesia dari ketergantungan bahan baku dan teknologi asing yang belum bisa dibuat oleh orang Indonesia.
Jika rokok benar-benar mematikan kenapa masih di Produksi & Pabrik Rokok Tidak di Tutup? Bahkan Philip Morris dan para pengusaha Asing lainnya malah ramai-ramai mengakuisisi produsen rokok Lokal? Adakah agenda tersembunyi dari dinamika ini? Taukah Anda Bahwa dibalik logika kesehatan itu ada keserakahan kaum kapitalis asing yang hendak menguasai bisnis global di bidang kretek? Tujuannya yaitu agar Indonesia semakin tertinggal jauh oleh negara-negara maju.
Mengapa Industri kretek menjadi sasaran Amerika?
Karena Industri ini disasar karena sudah memberikan sumbangan berharga bagi struktur ekonomi Indonesia., kekuatan industri kretek itu setidaknya karena beberapa hal.
Pertama, tumbuh berkembang dan bertahan lebih dari satu abad tanpa ketergantungan modal pada negara, Kedua,menggunakan hampir 100% bahan baku dan konten lokal.Ketiga, terintegrasi secara penuh dari hulu ke hilir dengan melibatkan tak kurang dari 30,5 juta pekerja langsung maupun tak langsung. Keempat, industri melayani 93% pasar lokal. Dengan karakter sekokoh itu, tak ayal industri kretek menjadi salah satu prototipe kemandirian ekonomi nasional.
Kekuatan inilah yang diincar neo-kolonialis gaya baru ingin menguasai industri rokok, tapi dengan mematahkan ketangguhan industri kretek Indonesia. Caranya lewat kampanye anti rokok yang sekarang lebih populer dengan kalimat merokok membunuhmu!.
Kekuatan inilah yang diincar neo-kolonialis gaya baru ingin menguasai industri rokok, tapi dengan mematahkan ketangguhan industri kretek Indonesia. Caranya lewat kampanye anti rokok yang sekarang lebih populer dengan kalimat merokok membunuhmu!.
By. AGROINDUSTRI.ID
Posting Komentar