Ads (728x90)

”Rumangsa Melu Handarbeni, Wajib Melu Hangrungkebi, Mulat Sarira Hangrasa Wani” ”Dikir, Fikir, dan Amal Sholeh”

Seorang pemuda dari Jombang sedang nyantri di Kademangan, Madura. Tugasnya mengurusi kuda milik sang guru, Syeikhona Khalil. Alhasil kesempatannya mengaji pun tak terlampau banyak.
Suatu hari, Syeikhona kerawuhan tamu dari tanah Jawa; seorang kyai yang santrinya masih berjumlah puluhan. Setelah diajak duduk sambil menikmati suguhan, tamu tersebut mengutarakan keperluannya pada tuan rumah–yang mulia.
“Mbah Kholil, niat saya yang pertama datang ke sini adalah ingin silaturahim, dan yang kedua, hendak menikahkan putri saya. Berhubung dia sudah dewasa, kiranya patut saya carikan jodoh, apalagi usia saya juga sudah di ambang pintu ajal. Tak lama lagi Allah pasti memanggil jiwa saya, Mbah. Jika ada calonnya, saya mohon petunjuk dan izin untuk mencarikan.”
Tanpa berpikir panjang, Mbah Kholil langsung memanggil santrinya yang sedang mengurusi kuda–di belakang rumah.
“Hasyim..!”
Demi mendengar suara gurunya memanggil, si santri langsung lari terbirit-birit menghadap sang guru.
“Dalem, Mbah Kholil. Panjenengan memanggil saya?”
“Iya.”
Tanpa banyak tanya lagi, pemuda Hasyim langsung diam merunduk. Lalu Syeikhona berkata pada tamu beliau.
“Ini dia calon yang kamu cari itu, yang akan meneruskan perjuanganmu nanti.”
Si tamu pun terkejut bukan kepalang. Tak sanggup berpikir sambil bergumam dalam hatinya,
“Apa iya sih santri mblasaken seperti ini yang akan mengurusi pesantrenku? Aku tidak yakin bila anak ini banyak ilmunya.”
Saat bersamaan, santri Hasyim pun terkejut pula sambil berkata dalam hatinya, “Apa iya Mbah Kholil tega akan menjodohkan saya dengan putri seorang ulama yang begitu mulia?”
Syeikhona Kholil lalu menyambungkan kegelisahan dua pikiran itu.
“Sudahlah, kamu pulang saja dan siapkan selamatannya di rumahmu. Tiga hari lagi aqad nikah dilaksanakan. Nah, kamu Hasyim, sana kembali ke belakang!”
Hasyim pun kembali ke tempat tugasnya dengan hati risau, pikiran kacau-balau, dan perasaan galau, sembari bertanya-tanya: ‘Bagaimana saya bisa menjalani ini semua? Kenapa guru tidak memberi tahu saya sebelumnya atau paling tidak menawarkannya terlebih dahulu?’
Gundah gulana, bimbang, ragu, dan bingung terus berkecamuk dalam pikiran Hasyim. Pada saat seperti itulah inayah Allah ditampakkan kepadanya. Ia teringat suatu hari saat Syeikhona sedang mulang kitab dan menurunkan dawuh:
“Sesiapa di antara kalian yang ingin tercapai hajatnya, maka bacalah selawat Nariyah sebanyak mungkin, pada waktu ijabah yang sangat dianjurkan, yaitu setelah separuh malam hingga menjelang Subuh.”
Tengah malam itu juga, Hasyim melaksanakan apa yang pernah diucapkan Syeikhona. Menjelang Subuh ia ketiduran. Kala itulah hal ajaib terjadi dalam mimpinya. Ia bertemu Imam Al-Bukhari yang mengajarkan padanya hadis Shahih selama 40 tahun. Manakala terjaga, Hasyim tertegun atas mimpi mistikal yang ia alami.
Pada malam kedua, hal yang sama terjadi lagi. Kali ini dalam mimpinya, Hasyim mendapat ilmu pada Imam As-Syafi’i yang kemudian mengajarkan padanya ragam kitab Fikih dari empat madzhab: Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali, juga selama 40 tahun.
Pada malam ketiga, ia kembali bermimpi dan mengaos ilmu dengan Imam al-Ghazali dan Syeikh Junayd Al-Baghdadi, yang mengajarkan padanya beragam kitab tasawuf selama 40 tahun. Ketiga mimpi itu kemudian menyisakan pertanyaan besar dalam pikiran Hasyim: apa makna dari semua mimpi itu.
Keesokan hari, ia hendak bertanya pada Syeikhona namun sudah tidak ada kesempatan lagi, karena justru ia malah disuruh bergegas menuju rumah calon mertuanya–guna melangsungkan aqad nikah.
Guru-murid ini pun berangkat. Setiba di tempat tujuan, aqad nikah langsung digelar. Sejak kedatangan hingga kemudian hendak pulang, Syeikhona sama sekali tak berkata apa pun, kecuali saat akan berpamitan.
“Hasyim, kamu jangan nyelewang-nyeleweng ya! Ibadah ikut yang dicontohkan Nabi Saw melalui ulamanya, dan ikutilah ulama Allah agar selamat. Allah pasti bersamamu.”
“Inggih, Mbah. Sendiko dawuh,” jawab Hasyim dalam manjura.
Sementara kepada mertua Hasyim, Syeikhona bertitah.
“Jangan ragu dengan Hasyim! Dia sudah mengaji 120 tahun lamanya.”
Semua hadirin nampak kebingungan. Santri yang baru saja menikah dihadapan mereka belum lagi mencapai usia 50 tahun. Hasyim juga tak kalah herannya. Bagaimana mungkin gurunya tahu perihal mimpi mistikalnya. Tak peduli dengan itu semua, Syeikhona pun kembali ke Bangkalan.
Esok hari, Hasyim diuji sang mertua. Ia ingin membuktikan sealim apakah menantu yang dijagokan gurunya itu. Ujian membaca kitab pun dihelat di masjid pesantren. Hasyim mulai gugup. Keringatnya panas-dingin. Sementara di tempat biasa mertuanya duduk, sudah disediakan dua kitab tafsir dan hadis. Di tempat yang sama, Hasyim juga dipersilakan duduk.
Ujian ini jadi kian menakjubkan kala Hasyim langsung membaca dengan fasih, hafal luar kepala, serta membahas laiknya para masyayikh yang sudah kenyang dengan segudang ilmu–tanpa memegang bahkan membuka dua kitab tersebut. Tanpa kesalahan sama sekali.
Para ustadz dan santri senior yang semula tak yakin dengan kemampuan Hasyim, seketika takjub. Begitu pun mertuanya yang mengintip dari celah jendela rumahnya. Sedari hari itu hingga seterusnya, Hasyim muda beroleh tugas mulang semua kitab klasik dari pelbagai cabang ilmu tradisional Islam. Di depan namanya lantas tersematlah satu kata baru: Kiai Hasyim Asy’ari. Karomah ini pula yang kelak memunculkan gelar baru di depan nama Beliau setelah mendirikan Pesantren Tebuireng: Hadratus Syeikh (maha guru).
Demikianlah sekelumit kisah karomah Syeikhona Kholil Bangkalan yang diterima Hadratus Syeikh, dan masih banyak lagi karomah Beliau yang dialami dan disaksikan para santrinya yang lain.
Semoga Allah senantiasa mengalirkan tetesan berkah dan manfaat dari kehidupan beliau-beliau yang mulia, kepada kita dan anak cucu. Amin ya Rabb l-‘Alamin. Lahumul Fatihah…

Posting Komentar